Menghajikan Qari
Ketika akan berangkat ke Medan untuk mengikuti MTQ III /1971, H. Solehuddin memberanikan diri pamitan kepada Kiai Hamid Pasuruan. Padahal dua tahun sebelumnya ketika akan ikut ambil bagian dalam event tersebut di Bandung dan Banjarmasin, dia tidak berani, lantaran sikap masyarakat Pasuruan yang belum bisa menerima perlombaan pembacaan Al-Quran dengan dilagukan.
“Hadiahnya apa?” Kiai Hamid bertanya.
“Juara pertamanya dikirim pergi haji,” jawabnya sopan.
“Baiklah, saya doakan,” kata Kiai Hamid, sambil berpesan agar sesampai di Medan dia langsung menuju ke Masjid Sultan Usman. “Shalat dua rakaat dan baca doa hasbunallah wa ni’mal wakil 350 kali. Jangan ditambah, dan jangan dikurangi.
Namun, ketika pesan dilaksanakan, Solehuddin tidak percaya diri. Maka pembacaannya ditambah dua kali lipat lagi hingga jumlah seluruhnya 1.050 kali. Hasilnya, dia memang menjadi juara, tapi juara ketiga.
Sepulang dan Medan, dia sowan ke Kiai Hamid untuk melaporkan hasil yang diraihnya di arena MTQ. Beliau bertanya, “Apakah pesan saya dilaksanakan semua?”
“Ya, Kiai,” jawab Soleh.
“Berapa kali?”
“350 kali.”
“Berapa kali 350?”
“Tiga kali.”
“Lha itu, kamu baca tiga kali, ya juara tiga,” ujar Kiai setengah bercanda.
Pada tahun 1974 menghadapi MTQ VII di Surabaya, dia sowan lagi kepada Kiai Hamid dan mohon didoakan agar menjadi juara pertama. Saat itu rumah Kiai Hamid penuh tamu. Belum sempat dia membuka mulut, Pak Kiai berkata keiada tamu-tamunya. “Sampeyan saksikan, ya, Solehudin ini ke Makkah dengan naik Al-Quran.”
Soleh kemudian disuruh membaca Al-Quran di depan mereka semua. Kiai Hamid lalu melepas sorbannya dan menaruhnya di atas kepala Soleh sambil berkata, “Berhasil, berhasil, amin, amin.”
Dengan bekal itu Soleh pergi ke Surabaya dan pulang dengan memboyong gelar juara pertama MTQ VII dan menunaikan ibadah haji sebagai hadiahnya….
إرسال تعليق